Ratna Ayu Maruti
Virtual identity dalam kontenks kekinian tampaknya merupakan suatu kewajaran sekaligus (hampir) merupakan keharusan, layaknya KTP (Kartu Tanda Penduduk). Kepemilikan identitas ini diperlukan saat seseorang harus ‘bergaul’ dalam dunia virtual pula. Meski senantiasa diidentikkan dengan identitas yang dipakai saat di dalam chatting room, menggunakan mailing list, game on-line, dan hal-hal sejenis yang memang menuntut keberadaan identitas (berikut password), sebenarnya identitas virtual akan dengan sendirinya muncul ketika seseorang mulai memasuki ruang cyber.
Dalam hal search engine memang kepemilikan virtual id adalah sesuatu yang sebenarnya tidak bersifat sukarela dari user-nya sendiri, lain halnya dengan pembentukan virtual id pada sebuah ruang-ruang game on-line, chatting, mailing list, friendster, dll. Selain sukarela, para user dengan sangat sadar memberikan sebuah kekhasan terhadap identitas yang dipakai. Berbeda, bahkan sama sekali tidak sama dengan kenyataan kondisi diri bukanlah hal besar yang apabila dilanggar akan menimbulkan beban moral dan konsekuensi normatif lainnya. Hal ini sangat lumrah dan kebanyakan justru disengaja dalam memberikan ke-tidakbenar-an identitas sesuai dengan aslinya. Alasan melakukannya pun beragam. Seperti yang pernah ditulis oleh John Suler dalam hipotesanya yang berjudul Hypotheses About Online Text Relationships[1] , ketika memasuki ruang cyber seseorang juga memasuki ruang psikologi mereka. Ada beberapa aspek psikologi yang penting ketika seseorang menampilkan identitas online mereka, yaitu:
1. Efek ke-tidaksegan-an. Mereka bisa menunjukan sisi lain dari karakter mereka yang secara normal akan tersembunyi dengan baik dalam kehidupan nyata mereka. Mereka mungkin akan berbagi rahasia, emosi, atau hal-hal lain yang tidak “normal” mereka lakukan dalam kehidupan nyata, dan semua itu dilakukan tanpa segan-segan
· 2. “Tidak dikenal”. Kebanyakan, mereka akan menciptakan karakter yang sama sekali tidak dikenal, menggunakan nama-nama yang “tidak nyata” disertai deretan angka yang sama sekali sulit dipahami maknanya, yang memungkinkan secara karakter sama sekali berbeda dengan karakter nyata mereka.
· 3. Efek “tidak terkalahkan”. Efek yang menyebabkan seseorang merasa bebas untuk menjadi siapapun yang mereka inginkan. Seperti halnya orang lain melakukan padanya, yang sama-sama percaya bahwa kebebasan emosi sangat memungkinkan disana.
Dengan asumsi yang sama kemudian secara timbal balik para user yang berinteraksi pun melakukannya satu sama lain. Persepsi tentang seseorang boleh jadi sesuai dan boleh jadi tidak sesuai dengan kepribadian orang itu. Pengambilan kesimpulan tentang orang lain dari stimuli yang diterima dari orang tersebut, betapapun tidak lengkapnya informasi yang diterima[2] . Inilah yang kemudian terjadi dalam dunia cyber. Dengan motif yang berbeda namun dengan serempak melakukan hal yang sama. Seakan-akan ada konsensus bahwa sudah bukan dosa lagi ketika saling menipu semua orang dianggap melakukannya tanpa kecuali.
Beralih dari kesan negatif yang menyertakan tipu-menipu di dalam penggunaan identitas virtual. Ada pula aspek positif dari penggunaan identitas virtual yakni manusia bisa melakukan peran ‘sosial’ yang mungkin saja tidak mereka dapatkan saat berada dalam dunia non-virtual. Maka layaknya menggunakan avatar, seseorang mempunyai berbagai macam avatar dalam kehidupannya sehingga dapat mengaktualisasikan karakter yang berbeda sekaligus mengorek diri secara mendalam apa saja pemikiran-pemikiran atau ‘dialog’ yang selama ini tersimpan rapat dan sulit untuk termanifestasikan karena peran yang didapatkan dalam dunia non-virtual ternyata tidak cocok.
Menurut William D. Brooks konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita, bisa bersifat psikologi, sosial, dan fisik[3]. Salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang di antaranya orang lain. Ketika orang lain mengakui dan menerima eksistensi kita, maka kita juga akan menerima dan mengakui diri sendiri. Hal inilah yang terjadi di dunia cyber. Dengan identitas baru (identitas virtual) seseorang bisa melakukan trial and error sampai pada masanya ia mengetahui diri seperti apa yang disukai oleh user lain. Dan kemudian dengan asumsi user lain menyukai identitas tersebut, maka seseorang akan berusaha mempertahankannya. Inilah yang kemudian disebut pygmallion effect.
Hal semacam itu sebenarnya juga terjadi dalam dunia nyata, namun di dalam dunia cyber, akan lebih mudah dalam melakukannya baik itu dari segi ruang geraknya yang sangat luas, juga dari segi tanggung jawab yang tidak mengikat layaknya di dunia nyata. Ketika suatu saat seseorang sudah tidak diterima lagi dalam komunitasnya di dunia virtual, maka tidak begitu sulit untuk mulai bergabung dengan komunitas lain, atau bahkan komunitas lamanya dengan mengganti identitasnya. Lalu ia memperhatikan pola interksi dalam komunitas baru tersebut dan tinggal menyesuaikan diri saja. Sungguh merupakan cara yang sangat instant dan seringkali terkesan semena-mena dan sangat tidak bertanggungjawab. Namun inilah rimba cyberspace yang tidak jarang terlihat sangat kejam. Dengan keberadaan identitas yang bisa berganti dengan mudah dan cepat, sering kali kejahatan moral sudah tidak diperhitungkan lagi. Terlebih, dengan fasilitas dan pengetahuan yang memadai cybercrime, pornography tentu saja dapat dengan mudahnya berada di sekeliling kita. Bahkan orang tidak akan malu dan bebas mengakses situs porno atau chatting vulgar ketika berpikir dengan identitas virtual dapat menyelamatkan mukanya, namun sebenarnya tidaklah demikian, karena sekali lagi jejak yang dibuat dalam dunia cyber sangatlah jelas. Di dunia cyber kita tidak akan pernah benar-benar sendiri dan memiliki ruang privasi. Namun dalam satu sisi justru itulah letak keuntungannya karena orang tidak (atau paling tidak untuk saat ini belum) dapat melakukan apa pun sekehendak dirinya dengan hanya berbekal sebuah identitas.
 
 

 
2 comments:
saya melihat virtual identity punya ruang eksepresi yg lebih luas ketimbang identitas di ruang nyata. ada bagian dari identitas seseorang yg tak bisa diekspresikan di dunia nyata ternyata mampu muncul di dunia virtual. saya melihat virtual identity tidak sepenunya baru, hanya alatnya saja: internet dan peralatan IT lainnya yang baru kita kenal. apa yg muncul di dunia virtual adalah bagian dari pengalaman2 seseorang selama hidupnya yg membentuk identitas pribadinya. jadi bagaimana kita memanfaatkan medium di dunia virtualpun berkorelasi pada pengalaman kita di dunia nyata. maksudnya, secara tidak sadar, sempit dan luasnya ruang ekspresi yg kita manfaatkan dalam dunia virtual sangat dipengaruhi oleh pengalaman2 seseorang dalam dunia nyatanya. pernah kan kita temui, ada orang yg tidak gemar chatting tapi gemar membuat blog. di dunia nyatanya, mungkin intensitas ngobrol orang tsb lebih dominan ketimbang aktivitas menulisnya. jadi, saat berada di ruang virtual, dia lebih memilih mengekspresikan diri dalam tulisan di blog ketimbang chatting. tapi bagaimanapun hal itu relatif juga. yg menurut saya jelas adalah identitas di dunia virtual adalah akumulasi pengalaman2 seseorang yg lebih utuh.
g seperti identitas di dunia nyata dimana siapa anda adalah apa yang anda konsumsi. Maka di dunia virtual identitas lebih kepada seperti apakah nurani anda. Bagaimana tidak? disini anda bebas telanjang tanpa takut. Ketakutan telah musnah ketika identitas telah menjadi mekanik-artificial. Identitas virtual dibentuk dengan sengaja, tanpa proses dan dibentuk oleh pribadi terdalam, nurani anda.
Ada sesuatu yang menjadi persamaan diantara kemunculan-kemunculan identitas. Yaitu kesan terhadap identitas, yang berasal dari proses sosial ketika identitas digunakan. Apapun topeng yang anda gunakan sebagai identitas, anda di dalam anda (nurani) akan mendapat kesan sosial yang menntukan posisi identitas anda dalam relasi sosial. Jika identitas anda digunakan dalam kaidah norma yang "dipuji" maka identitas anda mendapatkan posisinya yang "dipuji", begitu sebaliknya. Wajah anda boleh malaikat, tapi jika relasi soial anda buruk maka anda hanyalah iblis. nurani anda menerima kesadaran dari hasil relasi soialnya dengan identitas. Anda boleh lari dari setiap akibat relasi sosial denga berganti identitas. Tetapi nurani anda kan membawa anda kembali pada tanggung jawab. Hati-hatilah dengan hatimu !
Post a Comment